cek 1...2...3...
Menaiki
menaiki
Kami berjoget di elevator kegelapan
kami melakukan tap dance diatas jari jemari lentik yang didalamnya trombosit juga melompat-lompat keasyikan. Darimana kami tahu? Ya tentu dari sintalnya suasana
kami menyanyi, kalau kau mengaggap kami bersenandung seperti para generasi tua di tempat teater kuno, berarti kau makhluk yang kaku.
kami lari, lalu lompat terjun, Kearah bibir yang berdisko di aspal ragamu. Pada hutan hatimu.
Kami tertawa seperti mendapat nyawa tambahan. Tertawa seperti pak tua setan yang berhasil membuat bapak moyangmu bermain ski diatas hitam arang kejerumusan
Memang terjerembab dengan mutlak, tapi senang-senang saja, Lagipula musik masih dimainkan
dan tiada ingin dimatikan. dan tiada ingin dimatikan. dan tiada ingin dimatikan
Hujan
Mengapa orang selalu memuja-muja hujan? Mengingatnya seakan mengingat rindu.
Ah, kau ambil saja sendiri kenanganmu yang tanpa tanda seru karena rinduku tak berakhir dengan tanda. Tapi berujung dengan tiada dan tanpa
Seru ataupun tanya gelisah ataupun sukar tak masalah
Selama kau hanya mengambil kenangan-kenanganmu dalam arah yang tak selamanya rancu tapi pasti candu. Seperti hujan itu.
Bila hujan membantumu berjalan, berjalanlah, toh dia tidak atau kita tidak tahu bila dia memakai tanda petir padamu, jadi apa pula yang jadi masalah?
Selama kau menghendaki berjalan diatas wewangian petrichor, berjalan diatas badai yang tak ada apa-apanya dibandingkan pelangi mata hatimu
Siapa pula yang mau melarang atau bersajak menahan tunggu dulu nanti dulu semua yang membuatmu berhenti pada satu titik rem dalam senang yang berkhayal?
Kau injak saja dengan langkahmu, dengan keremehan di butir nimbus otakmu yang menganggap mereka mereka mereka mereka tolol.
Bukan masalah bilamana ini hujan. Hujan itu. Bukan hanya ini adukan rindu. Bukan hanya. Ini Rindu itu. Tak perlu tahu ini badai. Badai yang bernyanyi di hadapan sang dewi yang sedang banting payung hitam di kepalamu. Saat terdengar kata ingin bertemu dengannya.